Oligarki Ekstraktif dan Penurunan Kualitas Hidup Rakyat

11 months ago BY Jatam Kaltim

Bagaimana Kuasa Oligarki Ekstraktif Batubara Membuat Negara Abai Bersama Menurunnya Kualitas Hidup Warga: Studi Kasus Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Malinau, dan Kota Samarinda


 Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara secara nasional per 2017 berjumlah 8.710 yang tersebar pada 23 provinsi di Indonesia. Pemberian IUP yang tidak dikontrol oleh pemerintah (baik pemerintah pusat maupun daerah) telah memberikan dampak negatif yang besar dan meluas terhadap lingkungan dan masyarakat. Celakanya, batubara tetap menjadi komoditas tambang utama di Indonesia dengan beberapa negara asing sebagai konsumennya seperti Jepang, Korea, Cina dan Australia. Padahal, pertambangan batubara merupakan industri ekstraksif berbasiskan lahan skala besar, artinya industri batubara termasuk sebagai industri yang rakus lahan, air, dan energi.
 
 Lahan yang dijadikan lokus pertambangan, lazim mencaplok pemukiman (termasuk tanah warga, baik individual maupun komunal) warga serta ruang hidup mereka. Industri ini bukan bidang usaha baru di Indonesia, eksploitasinya sudah berjalan sejak 700 tahun lalu. Sejak masa kolonial batubara sudah dieskploitasi bersamaan dengan liberalisasi ekonomi, yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan teknologi yang lebih kontemporer (di masanya). Salah satunya adalah tambang batubara di Sawah Lunto, Sumatera Barat pada 1867.
 
 Industri batubara meroket di awal 2000-an dan sempat menukik turun pada sekitar 2012-2016. Namun, produksi batubara Indonesia sepanjang 2012-2013 justru meningkat. Hal ini dikarenakan tingginya permintaan batubara Indonesia untuk bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di dunia, terutama permintaan dari Cina dan India. Selain adanya penambahan jumlah PLTU di dunia, termasuk di Indonesia sejak 2008, sempat ada penurunan sedikit produksi batubara termal Indonesia menjadi 458 juta ton. Penurunan drastis (sebesar 14% sehingga menjadi 392 juta ton) produksi batubara termal terjadi pada 2015. Tahun-tahun berikutnya, 2016 menunjukkan peningkatan harga serta permintaan batubara karena permintaan domestik meningkat. Rencana pemerintah untuk melistriki Indonesia melalui program 35 Gigawatt (GW) mendorong peningkatan tersebut.⁴ Pembangunan PLTU serta berbagai infrastruktur di seluruh Indonesia mengangkat angka permintaan dan produksi batubara dalam negeri.
 
 Kendati naik turunnya harga batubara sejak 2011, Indonesia tetap menjadi negara eksportir batubara kedua terbesar di dunia, menyusul Australia per 2015. Tidak hanya itu, Indonesia juga diprediksikan menyumbang 28% ekspor batubara dunia pada 2040 (Australia 37%). Tambang batubara di Indonesia yang tersebar di 23 provinsi, dengan Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) yang memiliki tambang batubara terbanyak, yakni 1.404 IUP. Ketika produksi mineral-mineral di Indonesia mengalami penurunan, tidak demikian yang dengan batubara.
 
 Mudahnya pemberian IUP, rendahnya pengawasan, dan penegakan hukum di lapang menjadikan daya rusak pertambangan batubara semakin masif. Daya rusak batubara antara lain adalah polusi udara, hujan asam, masyarakat kehilangan lahan mereka, pemaksaan pergeseran mata pencaharian (dari petani dan nelayan menjadi buruh tambang), tercemarnya sungai, merusak persediaan air, kerusakan hutan, mengancam ketahanan pangan dan memicu perubahan iklim. Kendati daya rusak batubara terlihat dan dirasakan secara nyata –utamanya oleh mereka yang tinggal di sekitar konsesi tambang batubara tetap yang dikedepankan adalah wacana untuk memajukan daerah dan peningkatan lapangan kerja.
 
 Pemberian IUP batubara meningkat tajam pasca reformasi bersamaan dengan lahirnya UU Otonomi Daerah (UU Otda). UU Otda awalnya lahir sebagai kritik atas model pemerintahan sentralisasi yang dijalankan oleh pemerintahan Soeharto selama 32 tahun. Sebelumnya, keputusan-keputusan di daerah ditentukan oleh pemerintah pusat. Namun, pada kenyataannya semangat reformasi tersebut justru dibajak oleh para politisi, penguasa dan pengusaha untuk memperbesar ekstraksi batubara melalui keluarnya konsesi-konsesi baru yang jumlahnya tidak masuk akal. UU Otda menjadi menarik untuk dilihat karena awalnya dilahirkan untuk mendorong demokratisasi di Indonesia, tetapi justru dijadikan legitimasi para kepala daerah untuk mendulang uang atas nama pendapatan daerah. Menjamurnya perizinan-perizinan pertambangan setelah Orde Baru menunjukkan suatu gejala perubahan oligarki di Indonesia. Berakhirnya Orde Baru tidak menjadi akhir bagi berkembangnya oligarki di Indonesia.
 Pasca runtuhnya Orde Baru, selain terjadi pergeseran pemerintahan juga terjadi pergeseran oligarki. Mulai muncul oligark-oligark baru ke permukaan. Cara-cara oligark baru ini adalah dengan mencuri uang langsung dari lembaga-lembaga negara dengan menduduki jabatan-jabatan pemerintahan, baik legislatif, eksekutif dan yudikatif. Selain itu, karena pada dasarnya oligark-oligark keturunan Tionghoa memiliki kekayaan yang jauh lebih besar, oligark-oligark pribumi kemudian menghisap kekayaan dari mereka. Perubahan pola oligarki ini disebut oleh Winters adalah perubahan dari oligarki sultanistik menjadi penguasa kolektif.
 Dalam kurun waktu tidak sampai sepuluh tahun (2001-2010) jumlah IUP melambung drastis dari 750 izin menjadi lebih dari 10.000 izin. Pertambangan batubara merupakan pertambangan yang memiliki IUP paling banyak yaitu sekitar 40% dari jumlah total IUP.10 IUP pertambangan tidak serta merta muncul dan menjamur, tapi didorong oleh kemudahan-kemudahan yang diberikan pemerintah melalui keluarnya berbagai produk kebijakan yang dipaparkan sebelumnya.
 
 Laporan ini memaparkan bagaimana bekerjanya produk-produk kebijakan tata ruang, pertambangan, kehutanan dan lingkungan di lapang yang kemudian mempengaruhi keselamatan penduduk dan keberlanjutan layanan alam. Khususnya pada propinsi-propinsi yang menggantungkan ekonominya pada pertambangan batubara. Buku ini merupakan lanjutan penulisan Serial Batubara Mematikan (Deadly Coal Series). Buku pertama, “Mautnya Batubara: Pengerukan Batubara dan Generasi Suram Kalimantan” pada 2010, “Produksi Batubara Tanpa Batas” pada 2013, serta “Hungry Coal” pada 2017 yang diproduksi oleh JATAM bersama dengan Waterkeeper Alliance.
 
 Upaya JATAM melakukan riset dan mempublikasikannya merupakan salah satu upaya menunjukkan kepada publik dan pemerintah bagimana wajah industri yang bersembunyi atas nama pembangunan, penyediaan bahan baku energi dan sumber pendapatan pemerintah. krisis. Riset merupakan produksi pengetahuan yang akan terus diperkaya untuk memperuncing pengetahuan Jatam secara khusus dan masyarakat secara umum mengenai daya rusak tambang. Pada 2017/2018, tiga provinsi yang menjadi fokus riset JATAM adalah Bengkulu, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara yang dilaksanakan di sepanjang September 2017 hingga Maret 2018.


Oligarki Ekstraktif dan Penurunan Kualitas Hidup Rakyat
Download Sekarang