Di balik gemerlap promosi megaproyek kawasan industri terbesar di dunia yang diklaim sebagai kawasan industri hijau, wahana bagi berbagai industri dan manufaktur yang menghasilkan produk dan teknologi, untuk menopang ambisi pemerintah Indonesia dalam mendorong ekonomi hijau dan demi mengejar target transisi energi atas nama perubahan iklim. Yang juga akan memanfaatkan pembangkit listrik tenaga air yang juga dilabeli sebagai sumber energi terbarukan di Kalimantan Utara ini, ternyata terdapat pemalsuan dan penggelapan cerita dan duduk perkara.
Pemalsuan dan penggelapan cerita dan duduk perkara tersebut mulai dari ancaman daya rusak, ekonomi menyejarah rakyat yang akan hilang, digantikan paksa oleh operasi kuasa oligarki politik dan bisnis hingga bermacam rupa modus keji perampasan tanah-laut dan penggusuran ruang hidup yang disembunyikan yang tak diketahui oleh publik luas.
Pengurus negara mengklaim seluruh aktivitas industri dan tenant di kawasan ini akan menerapkan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan dan mengurangi secara drastis jejak karbon melalui penerapan teknologi hijau, produk hijau dengan standar tertinggi dalam lingkungan hidup bahkan mengklaim dipasok oleh sumber energi terbarukan, oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang disebut sejalan dengan target transisi energi dan net zero emission untuk Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan pemerintah Indonesia pada 2060 nanti.
Namun, dari penelusuran dalam laporan ini hal yang akan terjadi adalah sebaliknya. Penggelapan dan pemalsuan dari keseluruhan jalan cerita industri ini bahkan terpampang, bukan hanya rakus lahan atau membutuhkan lahan dengan skala besar namun juga rakus air dan rakus energi. Jumlah air yang dipakai dan air limbah yang ditinggalkan amat banyak termasuk mengenai urusan pemenuhan pasokan energi. Industri ini akan tetap bersumber dari PLTU batu bara, tidak seperti klaim sebelumnya yang menjual label hijau karena hanya akan menggunakan energi non fosil seperti PLTA.
Selamat membaca