Melawan Ekstraktivisme, Merawat Kehidupan, Menyatukan Perlawanan

3 weeks ago BY JATAM KALTIM

Press Release
Flores, 26 Mei 2025

Di tengah perampasan ruang hidup yang kian brutal, Hari Anti-Tambang (HATAM) 2025 hadir sebagai momentum kolektif untuk membongkar kejahatan ekstraktivisme. Ini juga menjadi momentum untuk menggalang solidaritas rakyat melawan sistem yang mengorbankan kehidupan demi kepentingan oligarki ekstraktif.
Dalam sistem ekonomi-politik yang mendewakan pertumbuhan, ekstraktivisme tidak dapat lagi hanya dipandang sebatas sebagai praktik eksploitasi sumber daya alam. Praktik ini telah menjadi ideologi yang dilegitimasi negara, dikemas dengan berbagai jargon pembangunan hijau, dilindungi oleh berbagai regulasi yang secara culas diciptakan untuk memastikan berbagai agendanya berjalan mulus tanpa hambatan, dan dijaga oleh aparat negara.
Di berbagai sudut Indonesia, perluasan berbagai industri ekstraktif atas nama hilirisasi dijadikan simbol kemajuan dan pembangunan. Kehadiran berbagai smelter, proyek-proyek transisi energi palsu, menjadi palagan kesuksesan pemerintah, sementara komunitas warga yang mempertahankan tanah dan airnya dari perampasan untuk proyek-proyek tersebut justru menghadapi intimidasi, kriminalisasi, bahkan meregang nyawa.
Ironisnya, perusakan tersebut kini dikemas dalam narasi "hijau". Negara dan korporasi berlindung di balik klaim transisi energi dan ekonomi berkelanjutan, padahal itu hanya jargon negara-korporasi untuk menyamarkan praktik perampasan ruang hidup rakyat, mencemari lingkungan, dan memicu konflik sosial yang semakin mendalam. HATAM 2025 hadir untuk mengungkap kebohongan ini dan membangun kekuatan rakyat untuk menolak ekspansi industri ekstraktif yang berkedok keberlanjutan.

Kemenangan Warga di Ranah Hukum dan Perusakan yang Berlanjut

Keberpihakan negara terhadap korporasi terlihat jelas dalam setiap gugatan hukum yang dimenangkan warga. Di Sangihe dan Wawonii, meski rakyat memenangkan gugatan hukum, perusahaan tetap beroperasi, sementara aparat menjaga kepentingan pemodal. Negara tidak hanya membiarkan korporasi mengabaikan hukum, tetapi juga secara aktif berperan sebagai pelindung industri ekstraktif, memastikan bahwa keputusan hukum tidak menghambat arus keuntungan bagi elite ekonomi. Akibatnya, industri ekstraktif melenggang secara leluasa dan langgeng.
Di berbagai wilayah Indonesia, dampak penghancuran yang ditimbulkan industri ekstraktif sudah tak terbendung dan tak akan pernah dapat dipulihkan. Kalimantan dijarah tanpa henti—lubang tambang batubara merenggut nyawa anak-anak, sawit menggusur hutan adat, dan proyek industri hijau memperparah kehancuran ekologis. Papua terus dirampas oleh tambang emas dan tembaga yang menghilangkan hak hidup suku-suku adat.Di Flores dan Lembata, warga hidup dengan udara beracun dari tambang geothermal yang diklaim sebagai energi bersih.
Sulawesi dan Maluku Utara menjadi ladang eksploitasi nikel yang menyisakan kemiskinan dan pencemaran.
Negara juga tak malu-malu lagi membungkam pelbagai komunitas warga yang melawan melalui tangan-tangan aparat pemerintah dan penegak hukum. Label preman disematkan tanpa tedeng aling-aling kepada masyarakat adat Maba Sangaji yang tengah berjuang untuk mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan dan penghancuran. Luka serupa juga dialami masyarakat dan pemuda adat Poco Leok yang dibungkam melalui kriminalisasi ketika proyek pengeboran panas bumi akan menghancurkan hutan mereka.
Dengan melakukan berbagai kriminalisasi brutal terhadap para penjaga hutan adat, negara telah mengkhianati kesetiaan mereka sebagai pelindung lingkungan dan warisan leluhur yang telah menjaga keseimbangan ekologi, jauh sebelum negara dan industri hadir. Padahal, negara seharusnya hadir untuk melindungi rakyat, bukan menjadi alat bagi korporasi yang merampas tanah dan sumber daya alam demi menangguk cuan dari berbisnis komoditas jarahan.

Sejarah Hari Anti-Tambang (HATAM)

Hari Anti-Tambang (HATAM) lahir dari luka ekologis dan sosial akibat semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 2006. Ini merupakan bencana yang menjadi bukti nyata bahwa industri ekstraktif tidak hanya menghancurkan lingkungan, tetapi juga kehidupan rakyat. Sejak 2011, HATAM telah menjadi ruang perlawanan bagi komunitas terdampak, aktivis, akademisi, dan masyarakat sipil yang menolak sistem ekstraktif yang terus merampas tanah, air, dan udara demi kepentingan segelintir elite.
Setiap tahun, HATAM mengingatkan bahwa eksploitasi sumber daya bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga bentuk kolonialisme modern yang diperkuat dengan regulasi dan kekerasan. Dalam perjalanannya, HATAM tidak hanya menjadi ajang refleksi, tetapi juga momentum konsolidasi gerakan rakyat.
Pada tahun ini, Flores dipilih sebagai tuan rumah untuk memperingati HATAM 2025. Flores adalah sebuah pulau yang mengalami dampak langsung dari proyek panas bumi dan eksploitasi sumber daya lainnya. Akibat ketamakan negara-korporasi, Flores ditetapkan sebagai ‘Pulau Panas Bumi’ tanpa memperhitungkan keselamatan warga yang menghuni bumi Nusa Bunga ini selama ratusan – bahkan ribuan tahun. Warga Flores dan Lembata kini menghadapi pencemaran udara, perampasan tanah, dan ancaman terhadap keberlanjutan ekosistem mereka, di tengah propaganda bahwa energi geothermal adalah solusi hijau.
Di tengah situasi ini, para pemimpin Katolik di Flores, termasuk Keuskupan Agung Ende telah menunjukkan keberpihakan yang jelas terhadap perjuangan warga. Dukungan ini menegaskan bahwa perlawanan terhadap proyek ekstraktif bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga soalkeadilan sosial dan perlindungan ruang hidup sebagai bagian dari iman dan kemanusiaan. Kemah Tabor, yang menjadi lokasi utama penyelenggaraan HATAM 2025, merupakan rumah retret yang kini menjadi tuan rumah. Pemilihan tempat ini bukan sekadar simbol, tetapi juga bentuk nyata dukungan dari para pemimpin agama Katolik terhadap warga yang berusaha mempertahankan tanah dan air mereka.
Secara spesifik, HATAM 2025 diselenggarakan di Mataloko, salah satu desa di Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, di Pulau Flores. Pemilihan Mataloko sebagai tempat berlangsungnya HATAM 2025 bukan tanpa alasan. Mataloko adalah saksi industri ekstraktif meninggalkan kehancuran yang tak akan pernah dapat dipulihkan. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Mataloko menjadi contoh nyata kegagalan proyek geothermal di Indonesia.
Meskipun proyek ini telah berhenti, kerusakan yang ditinggalkan tetap berlangsung
selamanya—kubangan lumpur panas masih menganga di berbagai lokasi, menciptakan lanskap yang rusak dan berbahaya bagi masyarakat sekitar. Tanah yang dulunya subur telah kehilangan daya dukungnya, dan sumber air yang tercemar menjadi ancaman bagi keselamatan warga. Ruang produksi pertanian warga ikut terancam.

Seruan HATAM 2025

Hari Anti-Tambang bukan hanya refleksi atas dampak ekstraktivisme, tetapi juga ajakan untuk menyatukan perlawanan. HATAM 2025 merupakan ruang temu untuk membangun strategi kolektif dalam melawan sistem yang menormalkan perampasan dan kekerasan.
Berbagai kegiatan yang digelar dalam peringatan HATAM 2025—seminar publik, workshop, konsolidasi pulau, aksi massa, toxic tour, dan panggung seni—dirancang sebagai wadah penguatan pengetahuan politik rakyat, solidaritas lintas sektor, serta konsolidasi gerakan perlawanan terhadap rezim ekstraktif. Dari ruang belajar hingga aksi, dari refleksi hingga perlawanan, HATAM adalah momentum menggalang kekuatan untuk membangun dunia yang lebih adil.
HATAM 2025 hendak menegaskan pembangunan yang menghancurkan kehidupan bukan kemajuan. Agenda-agenda ekstraktif yang mengorbankan rakyat demi akumulasi kekayaan segelintir elite harus dimaknai secara tegas sebagai bentuk kolonialisme modern. HATAM 2025 bukan sekadar seremoni, melainkan panggilan perlawanan.

“Adat dan budaya adalah kunci untuk mempertahankan ruang hidup, menguatkan perjuangan kita mempertahankan tanah leluhur.” Harwati, warga Porong - penyintas lumpur Lapindo.
“Kita melawan ekstraktivisme karena kita tahu tambang dan proyek ekstraktif lainnya hanya bentuk lain dari penjajahan yang menyaru dalam nama pembangunan. Kita merawat hidup karena tanah, air, hutan, dan udara adalah bagian dari tubuh kita. Karenatak ada artinya pembangunan jika kehidupan rakyat dilenyapkan.” Melky Nahar - Koordinator Nasional JATAM.


“Bumi adalah rumah bersama, bukan sekadar sumber daya tetapi ruang hidup dan tempat suci. Kepada pemerintah, dengarkan suara tanah ini! Dengarkan suara umat yang menangis! Membangun masa depan tidak bisa dengan menghancurkan masa lalu. Energi bersih tidak bisa dilahirkan dari energi kotor ketamakan yang menghancurkan.” Pater Charles Beraf SVD - perwakilan Keuskupan Agung Ende dan JPIC SVD Ende.