Samarinda 18 Juni 2025, Dibalik ramainya sorotan publik atas kunjungan Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, ke Muara Kate, tersingkap rentetan peristiwa tragis yang mencerminkan kelalaian terhadap keselamatan umum akibat lalu lintas angkutan batubara di jalan umum. Sejak tahun 2024, tercatat sedikitnya lima warga kehilangan nyawa akibat kecelakaan yang melibatkan aktivitas hauling batubara. Situasi semakin memanas dengan terjadinya konflik antarwarga, serta tindak kekerasan terhadap masyarakat yang menolak penggunaan jalan umum sebagai jalur hauling. Puncaknya terjadi pada 15 November 2024, ketika dua tokoh warga diserang—Rusel meninggal dunia dan Anson mengalami luka kritis. Hingga kini, peristiwa itu telah berlalu 215 hari tanpa penyelesaian yang memadai.
Salah satu akar persoalan yang kerap luput dari perhatian adalah bagaimana infrastruktur publik, termasuk jalan umum, secara sistematis dikorbankan demi kepentingan industri pertambangan. Dikorbankannya sarana umum untuk kepentingan tambang sesungguhnya dimulai sejak diundangkannya UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009. Kala itu Pasal 91 menyebutkan bahwa Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan.
Celah hukum ini kemudian dimanfaatkan melalui revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Proses pengesahan revisi tersebut berlangsung di tengah situasi pandemi Covid-19, yang mengakibatkan minimnya partisipasi publik yang bermakna. Dalam revisi bermasalah ini, disisipkan Pasal 91 ayat (3) yang secara eksplisit memperbolehkan penggunaan jalan umum untuk pengangkutan hasil tambang. Patut dicatat bahwa Rudy Mas’ud, yang saat itu masih menjabat sebagai anggota DPR RI di Komisi VII—komisi yang membidangi energi, riset, dan teknologi—ikut terlibat dalam pembahasan revisi UU Minerba ini. Revisi tersebut mendapat banyak kritik dan penolakan dari masyarakat sipil, khususnya di Kalimantan Timur.
Dasar aturan ini pulalah yang diduga digunakan oleh Rudy Mas’ud yang kini menjadi gubernur Kaltim untuk tetap memberikan celah lalu lintas batubara tetap bisa menggunakan jalan umum. “Jika tidak ada jalan hauling, bisa diberikan kebijakan. Caranya, menggunakan sif (pembagian waktu). Misal mulai subuh sampai jam 9 malam itu hak warga negara untuk beraktivitas, di luar
jam itu aktivitas pengangkutan batu bara bisa dilakukan." https://kaltimpost.jawapos.com/utama/2386150985/gubernur-harum-perusahaan-tambang-tak-boleh-pakai-jalan-umum-jangan-korbankan-keselamatan-masyarakat?.” Selanjutnya gubernur mengatakan apabila belum ada jalan hauling maka bisa diberikan kebijakan.
Sikap Gubernur ini justru membuka potensi konflik berkepanjangan di tengah masyarakat yang selama ini berjuang tanpa dukungan nyata dari negara. Meski menyadari bahwa penggunaan jalan umum untuk aktivitas tambang bertentangan dengan hukum, Gubernur tetap mencari celah dengan menerapkan sistem sif pengangkutan batubara, kebijakan yang tidak memiliki dasar teknis yang jelas.
JATAM menggambarkan potensi kekacauan serius jika wacana penggunaan jalan umum oleh PT MCM terus dilanjutkan. Perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, harus mengangkut batubara sejauh ±135 km menuju pelabuhan (jetty) di Desa Rangan, Kecamatan Kuaro. Jalur ini melintasi sedikitnya 33 bangunan sekolah, dengan waktu tempuh pulang-pergi sekitar 4,5 jam.
Kondisi ini akan menciptakan antrean truk sepanjang kurang lebih 13 kilometer, menimbulkan kemacetan ekstrem dan risiko keselamatan tinggi, terutama bagi masyarakat di sepanjang jalur. Ini adalah skema yang tidak hanya irasional, tapi juga membahayakan.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan jalan umum untuk angkutan tambang telah menimbulkan insiden berkepanjangan tanpa penyelesaian tuntas, bahkan sejak 2012. Meski kepemimpinan Provinsi Kaltim telah berganti dari Awang Faroek Ishak, Isran Noor,Akmal Malik, hingga Rudy Mas’ud, pelanggaran terhadap Perda No. 10 Tahun 2012 terkait larangan tersebut tetap tidak mampu mereka atasi.
Kalimantan Timur melalui Perda No.10 Tahun 2012 mensyaratkan pembangunan jalan khusus dilakukan saat pengajuan permohonan izin pertambangan, artinya jalan khusus menjadi prasyarat diterbitkannya izin pertambangan sesuai Pasal 7 ayat (5) Perda 10 Tahun 2012. Pun dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Gubernur 43 Tahun 2013 yang merupakan peraturan turunan dari Perda tersebut kembali menegaskan bahwa angkutan Batubara dilarang melewati jalan umum.
Diperkuat dengan adanya Surat Keputusan Gubernur 70 Tahun 2013 yang membentuk tim terpadu untuk melakukan pengawasan. Sayangnya hingga kini tidak ada transparansi hasil pengawasan dan evaluasi dari tim terpadu tersebut bahkan pelaksanaan Perda itu sendiri. Kunjungan Wakil Presiden Gibran ke Muara Kate pada Sabtu, 14 Juni 2025, semestinya menjadi momentum untuk menyentuh akar persoalan yang selama ini dibiarkan berlarut. Namun, hasil pertemuan antara pihak Wapres dan Gubernur Kaltim justru melahirkan pernyataan gubernur yang kembali membuka peluang penggunaan jalan umum untuk angkutan batubara.
Semestinya Wakil Presiden bersama jajaran kementerian terkait dan aparat kepolisian seharusnya dapat mengambil langkah tegas, termasuk memeriksa PT Mantimin Coal Mining yang diduga menjadi aktor utama di balik polemik ini. Jika ditemukan pelanggaran, perusahaan tersebut semestinya dapat dikenai sanksi administratif, termasuk penundaan atau pencabutan izin.
PT Mantimin Coal Mining seharusnya diminta bertanggung jawab atas seluruh kerusakan dan dampak sosial yang telah ditimbulkan selama ini, bukan justru diberi ruang untuk menawarkan solusi semu seperti jalan alternatif atau sistem sif angkutan—yang tidak memiliki dasar hukum dan jelas membahayakan keselamatan pengguna jalan serta merusak fasilitas publik. Terlebih, BBPJN telah menegaskan bahwa aktivitas MCM selama ini dilakukan tanpa izin resmi untuk menggunakan infrastruktur umum.