Abdul Aziz, Peneliti Divisi Hukum JATAM Kaltim
Dibalik ramai pemberitaan tewasnya Ustadz Tedy, Pendeta Veronika, dan Tokoh Adat Paser Russel, akibat konflik pengangkutan batubara di jalan umum oleh PT. Mantimin Coal Mining (PT. MCM) di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Akar masalah yang tidak tersorot adalah bagaimana sesungguhnya sarana umum termasuk jalan publik dikorbankan untuk kepentingan pertambangan.
Dikorbankannya sarana umum untuk kepentingan tambang sesungguhnya dimulai sejak diundangkannya UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009. Kala itu Pasal 91 menyebutkan bahwa Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan.
Celah ini akhirnya diwujudkan dengan ditumbalkannya jalan umum melalui revisi UU No 4 Tahun 2009 menjadi UU No 3 Tahun 2020, yang disahkan dengan memanfaatkan situasi Pandemi Covid-19 sehingga minim partisipasi bermakna dari publik. Revisi bermasalah ini berhasil menyusupkan Pasal 91 ayat (3) yang membolehkan jalan umum untuk pengangkutan hasil pertambangan.
Dari analisis perbandingan antar pasal dalam Undang-Undang pertambangan mulai dari UU Nomor 11 Tahun 1967 hingga UU Pertambangan Minerba terbaru yaitu UU No 2 Tahun 2025. Klausul tentang prasarana dan sarana umum tidak muncul pada undang-undang lawas, UU Nomor 11 Tahun 1967, namun celah legalisasi pemanfaatan sarana umum untuk pertambangan muncul pertama kali dalam Pasal 91 UU 4 Tahun 2009. Frasa “dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum” yang dimuat dalam Pasal tersebut membolehkan pemegang izin untuk memanfaatkan fasilitas publik. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sarana umum adalah segala fasilitas yang dapat digunakan oleh masyarakat umum seperti jalan, jembatan, angkutan umum dan lain sebagainya. Dari sini nampak jelas bahwa Pasal 91 UU 4 Tahun 2009 mengesampingkan kepentingan umum demi kepentingan pertambangan yang pada akhirnya mengorbankan prasarana dan sarana umum.
Bak ular berganti kulit, percobaan menumbalkan sarana umum kemudian dilanjutkan dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 yang merevisi UU Nomor 4 Tahun 2009. Meskipun pada Pasal 91 ayat (1) UU 3 Tahun 2020 mewajibkan pemegang IUP menggunakan jalan pertambangan, namun yang terjadi sebaliknya, alih-alih mempertegas kewajiban tersebut, muncul klausul Pasal 91 ayat (3) yang justru memberikan kelonggaran. Di situ disebutkan jika jalan pertambangan “tidak tersedia” maka pemegang IUP dapat memanfaatkan sarana dan prasarana umum termasuk jalan umum.
Jika kita periksa lebih dalam kewajiban untuk membuat jalan pertambangan tidak disertai dengan batas waktu bagi pemegang izin untuk menyelesaikan jalan khusus pertambangan. Sebaliknya, frasa “tidak tersedia” dalam Pasal 91 ayat (3) memberikan celah kepada pemegang izin untuk tidak menyediakan jalan pertambangan. Berbeda jika frasa yang digunakan adalah “belum tersedia”, artinya ada usaha dari pemegang izin untuk menyediakan jalan pertambangan yang memang belum selesai. Bunyi Pasal 91 tentu menjadi paradoks, satu sisi Pasal 91 ayat (1) mewajibkan pemegang izin untuk menggunakan jalan pertambangan. Di sisi lain, Pasal 91 ayat (3) membolehkan pemegang izin menggunakan sarana umum bahkan jalan publik.
Lebih parah lagi, kewajiban menggunakan jalan tambang yang diatur dalam Pasal 91 ayat (1) tersebut sebenarnya dibarengi dengan ancaman sanksi administratif. Adalah Pasal 151 yang memberikan hak kepada menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk memberikan sanksi administratif bagi pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut. Namun celah legalisasi jalan umum untuk keperluan pertambangan yang diatur pada Pasal 91 ayat (3), menjadikan Pasal 151 yang mengatur sanksi administratif bagi pemegang izin yang tidak menggunakan jalan pertambangan tiada fungsi.
Kalimantan Timur dalam Pusaran Kepentingan ditumbalkannya Jalan Publik
Berbeda dengan pengaturan di tingkat nasional, Kalimantan Timur melalui Perda No.10 Tahun 2012 mengatur penyelenggaraan jalan umum dan jalan khusus untuk pengangkutan Batubara dan Sawit. Pasal 6 Perda 10 Tahun 2012 tegas melarang angkutan Batubara dan kelapa sawit melewati jalan umum serta mewajibkan diangkut melalui jalan khusus. Bahkan Perda tersebut mensyaratkan pembangunan jalan khusus dilakukan saat pengajuan permohonan izin pertambangan, artinya jalan khusus menjadi prasyarat diterbitkannya izin pertambangan sesuai Pasal 7 ayat (5) Perda 10 Tahun 2012. Pun dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Gubernur 43 Tahun 2013 yang merupakan peraturan turunan dari Perda tersebut kembali menegaskan bahwa angkutan Batubara dilarang melewati jalan umum.
Walaupun Undang-Undang dan Perda sama-sama mengatur pengecualian untuk pemanfaatan jalan umum. Pengecualian Perda berbeda dengan Undang-Undang. Dalam Perda, pemegang izin diperbolehkan hanya apabila jalan khusus yang disyaratkan sedang tahap konstruksi atau terjadi keadaan darurat sehingga jalan khusus tidak dapat digunakan. Sedangkan dalam Undang-Undang pemegang izin dapat menggunakan jalan umum jika jalan khusus pertambangan tidak tersedia. Pengaturan Perda tentu lebih logis dibandingkan dengan UU yang pengecualiannya dengan frasa “tidak tersedia” yang multitafsir.
Namun, bukan berarti Perda tersebut menjawab polemik larangan pemanfaatan jalan umum di Kalimantan Timur. Fakta lapangan menunjukkan beberapa jalan umum di Kalimantan Timur seperti di Paser dan Kutai Timur masih digunakan untuk keperluan pertambangan. Ini menunjukkan tidak ada pengawasan dan evaluasi terhadap berlakunya Perda tersebut. Padahal terdapat Surat Keputusan Gubernur 70 Tahun 2013 yang membentuk tim terpadu untuk melakukan pengawasan. Sayangnya hingga kini tidak ada transparansi hasil pengawasan dan evaluasi dari tim terpadu tersebut.
Gubernur CuekPol
“Tentu perda itu harus ditegakkan, karena sejalan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, yang di Pasal 91 ayat (1) menyatakan perusahaan tambang wajib membangun jalan khusus. Kecuali di ayat 4 atau 5, ada pengecualian, tapi itu pun ada kaidahnya khususnya soal keselamatan,” ucap Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud di depan awak media pada 17 April 2025. Statement yang diutarakan oleh gubernur tersebut hanya sekedar bersilat lidah. Terbaru justru PT. Kaltim Prima Coal (KPC) dibiarkan merampas jalan poros Sangatta-Bengalon yang merupakan jalan publik untuk kepentingan Hauling KPC. Fakta ini menunjukkan betapa masa bodohnya gubernur terhadap keselamatan rakyat dan jalan umum di Kalimantan Timur.
Daya rusak dimanfaatkannya jalan publik untuk kepentingan tambang sebenarnya sudah memiliki daftar yang panjang. Jumlah korban jiwa menggunung akibat kecelakaan seperti di jalan Poros Balikpapan-Handil II yang berstatus jalan provinsi sudah merenggut belasan korban jiwa pada 2019. Begitu juga yang terjadi di luar Kalimantan Timur seperti Jambi, dalam sepuluh tahun terakhir setidaknya 120 orang meninggal dunia.
Penggunaan jalan umum untuk pengangkutan batubara praktis melanggar Hak Konstitusional warga negara untuk mendapatkan jalan yang baik dan layak sesuai asas penyelenggaraan jalan yaitu keamanan, kemanfaatan, dan keselamatan. Sayangnya, segala peraturan pertambangan pada akhirnya hanya menjamin keamanan dan kenyamanan industri pertambangan dan tidak ragu mengorbankan kepentingan umum untuk memuluskan kepentingan pebisnis tambang belaka.