Rabu, 13 November 2024, sekitar pukul 13.40 WITA, Albed, seorang warga Kampung Geleo Asa yang juga adalah anggota Forum Sempekat Peduli Gunung Layung (FSPGL), berencana mengunjungi kebunnya untuk membersihkan area dan melakukan pengukuran tanah melalui program PTSL yang diinisiasi oleh BPN Kubar. Albed telah memiliki Surat Kepemilikan Tanah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kampung, sejak 2018 dan mengelola tanah tersebut sejak tahun 1990-an, yang merupakan warisan dari orang tuanya. Saat ia akan menuju lokasi kebun miliknya yang berada di wilayah Sungai Weliwai Kampung geleo Asa, pihak keamanan dari PT Pari Coal, atas nama La Ode, melarangnya mengakses kebunnya dengan alasan larangan ini adalah perintah SOP dari perusahaan PT Pari Coal.
Ini adalah pertama kalinya Albed mendapat larangan tersebut, meskipun kebunnya terletak di kawasan Sungai Weliwai, yang merupakan area yang telah lama ia Kelola, jalur yang biasa dilalui Albed dan sejumlah warga geleo asa lainnya adalah bekas jalur angkutan Batubara milik PT Kencana Wilsa yang izinnya telah berakhir sejak tanggal 21 Desember 2023 lalu.
Albed sendiri memiliki lahan seluas 16.788 m², yang kini sebagian ditanami sawit berusia 5 bulan. Dulu, ia juga menanam sekitar 200 pohon karet, namun sebagian besar pohon tersebut mati akibat tergenang air setelah perusahaan sebelumnya, yakni PT Kencana Wilsa, menutup hulu Sungai Weliwai, yang muaranya berada di Sungai Mahakam. Kini hanya tersisa 10 pohon karet yang ia miliki.
Tak hanya Albed, ada empat keluarga lainnya yang juga mengalami dampak serupa. Mereka pun dilarang melewati jalan yang biasa digunakan untuk mengakses kebun mereka. Bahkan, sekitar 11 keluarga lainnya di Kampung Geleo Asa turut berpotensi terancam tidak dapat mengakses lahan kebun mereka akibat larangan ini.
Akibat tindakan tersebut, Albed kini harus mencari rute alternatif yang jauh lebih sulit untuk mengakses kebunnya. Dulu ia bisa menggunakan motor langsung menuju kebun, namun kini ia harus menggunakan motor, kemudian melewati sungai Encalin menggunakan perahu ketinting, dan berjalan kaki hingga bisa sampai ke kebunnya. Akses yang semakin sulit ini juga menyulitkan Albed saat membawa bibit tanaman ke kebunnya.
Pari Coal yang memiliki luas Konsesi 23.287 Ha, adalah salah satu anak usaha Milik Group Adaro, yang beroperasi di Kabupaten Mahakam ulu, Kalimantan Timur. Grup Adaro adalah perusahaan tambang batu bara terbesar kedua di Indonesia, setelah PT Bumi Resources.
Adaro erat kaitannya dengan kelindan Bisnis dan relasi Politik dengan rantai konflik kepentingan, karena relasi kepemilikan perusahaan ini dengan Garibaldi “Boy” Thohir dan Erick Thohir yang saat ini merupakan menteri dan pengusaha penyokong utama pada kabinet dan pemerintahan Jokowi dan Kabinet Prabowo - Gibran saat ini.
PT Pari-Adaro saat ini sedang melakukan aktivitas pembangunan infrastruktur jalan hauling sepanjang sekitar 100 kilometer dari lokasi penambangan di Mahakam Ulu menuju Kampung Geleo Asa dan Muara Benangaq. Selain itu, mereka memperluas fasilitas pelabuhan jetty untuk mendukung pengangkutan batubara, yang dikhawatirkan semakin merusak lingkungan dan mengganggu kehidupan masyarakat.
Hadirnya PT Pari-Adaro juga memicu konflik sosial, termasuk perebutan lahan dan tapal batas antar kampung yang sebelumnya tidak pernah terjadi, sebelum kehadiran PT Pari Coal - Adaro. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kalimantan Timur 2024 diduga menjadi celah untuk menurunkan status kawasan hutan demi kepentingan perusahaan tambang.
JATAM Kaltim menduga, larangan penggunaan akses jalan ini merupakan bagian rangkaian modus pengambilalihan tanah yang umum terjadi dalam industri pertambangan, di mana warga secara perlahan kehilangan akses ke lahan mereka, sehingga mereka terpaksa melepaskan hak atas tanah mereka dan menyerahkannya kepada pihak perusahaan untuk dijual. Tindakan ini berpotensi merugikan secara ekonomi dan menghilangkan hak warga atas pengelolaan tanah mereka. Modus perampasan lahan lainnya yang terjadi adalah melalui bujukan ganti rugi dengan syarat pengubahan dokumen legalitas lahan, yang melemahkan posisi hukum masyarakat adat. Manipulasi tata ruang, ekspansi tambang batubara, serta dinamika politik lokal seperti pilkada telah memperparah kerusakan lingkungan dan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat adat Dayak yang telah lama menjadikan kawasan ini sebagai rumah.
Dalam dokumentasi Video yang dimiliki oleh warga dan serta informasi yang disampaikan, ditemukan sejumlah temuan indikasi pelanggaran serius terkait proses perizinan dan pelaksanaan kegiatan tambang batubara oleh PT Pari Coal dan PT Kencana Wilsa (KW) di kawasan Gunung Layung.
1. UU no 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup, Pasal 26 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam penyusunan AMDAL dilakukan dengan melibatkan Masyarakat, pasal 26 ayat (2) yang mengatur bahwa pelibatan Masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan, lalu pasal 26 ayat (3) mengatur lebih lanjut terkait yang disampaikan pada ayat 1, yaitu Masyarakat yang dimaksud adalah yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup, dan yang terpengaruh atas segala bentuk Keputusan dalam proses AMDAL.
2. PT Pari Coal diduga kuat tidak melibatkan masyarakat secara bermakna dan memadai dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) maupun proses perizinan terkait pembangunan terminal khusus batubara dan infrastruktur jetty. Minimnya transparansi dan partisipasi publik dalam proyek ini juga mengindikasikan adanya potensi kegiatan operasional tanpa dokumen AMDAL yang sah, melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Dugaan pelanggaran ini memenuhi unsur pidana lingkungan sesuai dengan Undang-Undang 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Maka aktivitas perusahaan telah melanggar pasal 109 ayat 1, ancaman penjara minimal satu tahun dengan denda Rp 1 miliar, dan maksimal tiga tahun dengan denda Rp 3 miliar.
3. Tindakan pelarangan akses terhadap potensi sebelas keluarga pemilik lahan di wilayah yang saat ini akan dilakukan fasilitas pelabuhan Pari Coal adalah tindakan kejahatan, karena tindakan tersebut dilakukan tanpa dasar yang jelas , sedangkan warga memiliki alas hak yang disahkan oleh Pemerintah Kampung, dan sejarah penguasaan secara historis lewat penguasaan lahan secara turun temurun. Maka pelarangan tersebut melanggar pasal 135 dan 136 UU Minerba 3 Tahun 2020, berkaitan dengan penyelesaian hak atas tanah sebelum kegiatan pertambangan beraktivitas. untuk menjamin kepastian hukum sebelum melakukan aktivitas pertambangan. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak masyarakat yang tanahnya digunakan untuk kegiatan pertambangan.
4. PT Kencana Wilsa, yang izinnya berakhir pada 21 Desember 2023, meninggalkan warisan kerusakan berupa sedikitnya tiga lubang tambang batubara yang tidak direklamasi. Berdasarkan analisis JATAM Kaltim, luas total bukaan lahan mencapai 37,5 hektare, dengan 6,4 hektare di antaranya berupa lubang tambang yang belum dipulihkan. Kondisi ini menunjukkan dugaan pelanggaran terhadap kewajiban reklamasi dan pascatambang sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang diperbarui melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 2020.
Kerusakan ekosistem sungai juga menjadi masalah serius. Di Sungai Weliwai, yang sebelumnya menjadi habitat ikan lokal seperti Kentia, Papuyu, dan Gabus, pembangunan jetty oleh PT Kencana Wilsa telah memutus aliran air, mengakibatkan sungai mati. Dampaknya, mata pencaharian warga dari menangkap ikan telah hilang.
Rusaknya lingkungan, hilangnya sumber penghidupan, dan konflik sosial yang terjadi di kawasan ini adalah alarm keras bagi semua pihak. Pemerintah dan perusahaan tambang harus bertanggung jawab untuk menghentikan praktik-praktik yang merusak dan segera memulihkan kawasan Hutan Gunung Layung. Kelestarian lingkungan dan keberlanjutan hidup masyarakat adat harus menjadi prioritas di atas kepentingan ekonomi sesaat.
Melalui rilis ini, JATAM Kaltim mendesak agar pihak PT Pari Coal Adaro segera menghentikan larangan terhadap warga yang akan mengakses kebun ruang hidup mereka, karena tindakan tersebut tidak hanya mencederai hak masyarakat yang terdampak, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan lingkungan dan partisipasi masyarakat yang seharusnya dihormati oleh PT Pari Coal - Adaro, segera memulihkan hak-hak masyarakat, dan menghormati hukum yang berlaku.